TAKE HOME EXAM
Filsafat Ilmu
Dosen: Prof. Dr. Joko Nurkamto, M. Pd
Disusun oleh :
Nama : SISWANTO
NIM : S.89020129
Semester : I ( satu )
Progam Studi : Pendidikan Bahasa Inggris
1. Konsep filsafat dan perannya bagi pengembangan ilmu
Filsafat merupakan telaah yang ingin menjawab banyak pertanyaan mengenai peran filsafat bagi pengembangan ilmu pengetahuan seperti :
Obyek apa saja yang ditelaah ilmu?Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut?Bagaimana hubungan antara obyek dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) sehingga menghasilkan pengetahuan dan memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu. Bagaimana prosedur dan hal apasaja yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Apakah kriterianya, bagaimana tehnik dan sarana apa yang yang membantu agar dapat mengembangkan ilmu yang baru kita peroleh. Menurut Andi Hakim Nasution dalam sebuah ceramahnya di depan layar televisi”Sekiranya binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau Jawa yang saat sekarang ini akan dilestarikan agar supaya jangan sampai punah , melainkan manusia Jawa. Usaha pelestarian itu di pimpin oleh Menteri PPLH (Pengawas Pembangunan dan Lingkungan Hidup) yang bukan bernama Emil Salim melainkan seekor harimau yang bergelar profesor. ” Dengan cakarnya, dengan taringnya, dengan kekuatannya,” demikian kira-kira ujar ilmuwan yang penuh humor ini,” harimau jelas bukan tandingan manusia.”
Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuatan dan kekuasaan. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan ini. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan manakah yang jelek. Dalam menentukan pilihan ini manusia berpaling kepada pengetahuan.
Manusia adalah satu-satunya makluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan binatang ini sangat terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekoer kera tahu mana buah jambu yang enak, mana buah pisang yang manis, seekor anak tikus tahu mana kucing yang ganas. Tentu saja anak tikus itu diajari induknya untuk mengetahui bahwa kucing itu berbahaya. Tetapi dalam hal ini , berbeda dengan tujuan pendidikan, anak tikus hanya diajari hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuan untuk mengatasi kelangsungan hidup. Dia terus memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan untuk sekedar kelangsungan hidup, makna kepada kehidupan; manusia ”memanusiakan” diri dalam hidupnya. Sehingga pada hakekatnya manusia mempunyai tujuan tertentu yang menyebabkan manusia harus mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan inilah mendorong manusia menjadi makluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Manusia dalam mengembangkan pengetahuannya didasari dua hal yang sangat mendasar yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Seekor beruk bisa saja memberikan informasi kepada kelompoknya, bahwa ada segerombolan gorila datang menyerang; namun bagaimana bahasa itu bisa berkembang, dia tidak mampu mengkomunikasikan kepada beruk-beruk lainnya, jalan pikiran yang analitis mengenai gejala tersebut . Dari drama terkenal Shakespeare yang dikatakan oleh Betrand Russell, tak ada seekor anjingpun berkata.” Ayahku miskin tapi jujur” dan tak ada seekor anjingpun yang secara sadar tukar- menukar tulang dengan temannya, kata Adam Smith, hal ini Adam Smith berbicara tentang prinsip ekonomi, yakni proses pertukkaran yang dilakukan Homo oeconomicus yang mengembangkan pengetahuan berupa ekonomi.
Sebab kedua yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir secara itu disebut penalaran. Binatang mampu berpikir namun tidak mampu berpikir secara nalar. Perbedaan antara seorang profesor nuklir dengan anak kecil yang membangun bom atom dari pasir di sebuah play group-nya tempat dia melakukan risetnya terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink binatang jauh peka dari instink seoarang insinyur geologi; mereka sudah jauh-jauh berlindung ketempat yang aman sebelum gunung meletus. Namun binatang tak bisa menalar tentang gejala tersebut: mengapa gunung meletus, faktor apa yang menyebabkannya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah semua itu terjadi
Dua kelebihan inilah yang memungkinkah manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalarr. Sudah barang tentu semua pengetahuan tidak berasal dari proses penalaran: sebab berpikir pun tidak semuanya berdasarkan penalaran. Manusia bukan semata-mata makluk berpikir: sekedar homo sapien yang steril. Manusia adalah makluk yang berpikir, merasa, mengindera, dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, disamping wahyu: yang merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan makluknya
Memang penalaran otak orang luar biasa,” simpul cendikiawan Bos Bubalus membacakan makalahnya (di klinik Fakultas Kedokteran Hewan, Jalan Taman Kencana, Bogor), meskipun penelitian kami menunjukkan, bahwa secara kimia dan fisika, otak kerbau mirip otak manusia..........”2) Jadi otak Taufiq ismail yang pernah menghuni Taman Kencana, Bogor enak juga kalau juga kalau digoreng.
2. Konsep filsafat ilmu dan manfaatnya bagi mahasiswa Program Pascasarjana.
Sebagai mahasiswa sudah barang tentu mengetahui bagaimana pengetahuan itu diperoleh secara benar . Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dari keduanya. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian pula berfilsafat berarti mengoreksi diri, artinya berani untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang kita cari dantelah kita dapatkan..
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak di bangku sekolah dasar sampai pendidikan pasca sarjana. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita harus berterus terang kepada diri sendiri, sebagai mahasiswa pendidikan pasca sarjana hendaklah mengetahui lebih banyak ilmu. Apakah ciri-ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahua-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu? Bagaiman kita mengetahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar? Kriteria apa yang dipakai oleh para mahasiswa pasca sarjana dalam menentukan kebenaran secara ilmiah, mengapa kita mesti mempelajari ilmu. Apakah manfaat ilmu yang sebenarnya? Sebagai mahasiswa pasca sarjana seharusnya selalu berendah hati dan selalu mengevaluasi seluruh pengetahuan yang telah dimiliki, apakah seluruh ilmu yang telah dimiliki telah mencakup seluruh pengetahuan yang seyogyanya diketahui dalam kehidupan ini, dibatas manakah ilmu itu harus dimulai dan dibatas manakah ilmu itu harus diakhiri. Kemakah kita harus berpaling di batas ketidak tahuan ini? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu? Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkan martabat mahasiswa pasca sarjana, akan tetrapi kita secara sadar harus bisa memanfaatkannya, untuk lebih jujur dalam mencintai ilmu.
Karakteristik berpikir seorang mahasiswa pasca sarjana adalah sifat menyeluruh seorang ilmuwan yang tidak puas lagi memandang ilmu hanya dari sudat pandang ilmu itu sendiri. Sebagai mahasiswa ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin melihat dan ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin tahu keyakinan untuk dirinya sendiri apakah ilmu itu akan membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat dan mendengar seorang ilmuan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial, lulusan Pendidikan Bahasa Inggris memandang rendah lulusan pendidikan lainnya, atau lebih tragis lagi seorang ilmuan memandang rendah kepada pengtahuan lainya. Mereka merehkan moral, agama, dan estitika. Mereka adalah kelompok ilmuan yang picik dibawah tempurung disiplin keilmunya masing-masing, sebaiknya mereka tengadah ke bintang-bintang dimalam hari dan tercengang: Lho kok masih ada langit lain diluar tempurung kita. Dan kita pun menyadari akan kebodohan kita sendiri, yang kita tahu, ialah bahwa kita tidak tahu apa-apa ( we know nothing ) ,Socrates.
Kerendahan hati Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekedar basa-basi. Sebagai seorang mahasiswa yang berpikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang, hendaknya juga membongkar tempat berpijak secara fundamantal. Inilah karakteristik berpikir filsafati yakni sifat yang mendasar. Seorang mahasiswa pasca sarjana hendaknya jangan percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu bisa disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria itu dilakukan dengan benar? Apakah kriteria seperti itu benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar, dan menyususr sebuah lingkaran. Kita harus mulai dari sebuah titik yang awal dan harus mengakiri cara berpikir kita dengan tepat.
3. Salah satu karakteristik berpikir filsafati adalah komprehensif
Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem Mono adalah seorang arsitek yang juga aktif menjadi kontraktor. Pengalaman ia didunia ‘kontraktor’ membuat ia lebih mengerti efektifitas, baik dari segi teknik membangun maupun dari sisi dana yang dikeluarkan. Untuk rumah tinggal besar atau mewah, sisi efektifitas biaya tidak lah menjadi perhatian utama dari sang pemilik rumah, namun untuk desain rumah kecil, dimana dana sang pemilik rumah cukup terbatas, atau desain rumah tinggal untuk di’jual’ kembali, faktor dana menjadi hal yang sangat sensitif.
Konsep yang menarik dari desain rumah ini adalah penggunaan ruang garasi rumah yang dapat ‘berganti’ fungsi di siang hari. Mono berasumsi bahwa, pada umumnya, kendaraan roda empat, hanya perlu didalam garasi rumah pada malam hari saja, di siang hari, sang kendaraan sering berada diluar rumah, atau dapat di ‘parkir’kan di area terbuka, atau didepan rumah. Dengan konsep seperti ini, maka, ada area ruang keluarga terdapat penhubung yang cukup besar , sehingga kesan pembatas antara kedua dapat dihilangkan. Material yang digunakan untuk ruang garasi ini pun dapat ‘setara’ dengan ruang keluarga ini. Konsep ini dapat dilakukan dengan baik, terutama bila kita mengansumsikan bahwa ruang garasi adalah perluasan ruang keluarga.
Lantai atas dibuat untuk menjadi area kamar tidur dengan ukuran yang nyaman. Mono beranggapan bahwa kebanyakan para ‘developer’ memberikan desain kamar tidur yang terlalu kecil pada kenyataan dilapangan, memang untuk brosur, para pengembang ingin desain rumah terasa lapang dengan mendesain kamar yang ukurannya sangat terbatas, namun untuk kita sang pemilik rumah, tentu kegiatan kita pun cukup banyak dilakukan di kamar tidur, maka tentunya semakin luas kamar tidur tersebut, semakin baik tentunya.
Karena pada umumnya rumah kecil ini dibuat dengan pertimbangan ekonomi, maka sebaiknya, elemen ‘pemanis desain’ berada di ‘facade’ (tampak depan) bangunan. Penggunaan material campuran dari plesteran yang murah dengan material khusus seperti batu alam dapat kita kombinasikan. Nomer rumah pun, bisa kita buat seakan-akan menjadi bagian dari desain yang dapat mempercantik tampak depan rumah kita. Bila kita suka dengan elemen material dari bahan kayu, dapat kita gunakan di beberapa area, terutama yang tidak langsung terkena dengan sinar matahari atau air hujan, sehingga lebih awet.
Desain rumah ini pun terlihat asri dan menarik untuk proyek kompleks perumahan, pengolahan warna dan permainan material batu yang berbeda-beda, dapat membuat rumah-rumah ini tidak berkesan monoton.
4. “Objek kajian ilmu adalah hal-hal yang dapat diamati dan terukur”. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Jelaskan alasan Anda.
Sudah terlanjur menjadi pemahaman yang sangat mendalam di tengah masyarakat bahwa ilmu-ilmu agama adalah sebatas ilmu fiqh, tauhid, akhlaq dan tasawwuf, tarekh dan bahasa Arab. Kurikulum pendidikan agama di sekolah, madrasah hingga di perguruan tinggi, jika menyebut lingkup pendidikan agama, maka isinya seperti itu. Demikian juga pemahaman orang terhadap jenis fakultas di perguruan tinggi agama, akan selalu disebutkan meliputi fakultas ushuluddin, tarbiyah, syari’ah, adab dan dakwah. Maka, jenis fakultas di seluruh IAIN atau STAIN, kecuali beberapa yang diberi status wider mandate, hanya terdiri atas lima fakultas tersebut, atau bahkan kurang dari itu.
Akhir-akhir ini berkembang pemikiran dan atau gejala baru di kalangan perguruan tinggi agama, yakni membuka fakultas-fakultas umum yang sementara ini masih dianggap di luar adat kebiasaannya. Bahkan beberapa perguruan tinggi agama Islam Negeri merubah status kelembagaannya yang semula berbentuk sekolah tinggi atau institute, menjadi bentuk universitas. Beberapa IAIN dan STAIN, sekalipun masih terbatas jenis dan jumlahnya, membuka fakultas atau jurusan ilmu umum. Perkembangan perguruan tinggi Islam seperti itu, bagi masyarakat tertentu menganggapnya aneh. Banyak orang berpikir bahwa semestinya perguruan tinggi Islam, sebagaimana tugas pokoknya, cukup hanya mengembangkan ilmu agama Islam. Sedangkan ilmu-ilmu umum agar dikembangkan oleh perguruan tingi umum, sebagaimana yang lazim selama ini. Bagi mereka yang berpandangan seperti itu menganggap bahwa ilmu agama berbeda dengan ilmu umum, sehingga tidak bisa disamakan dan apalagi disatukan
Perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang yang oleh sementara pihak dianggap aneh itu, kemudian selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan dari berbagai pihak terkait dengan ilmu umum di perguruan tinggi agama. Pada umumnya mereka mempertanyakan, jika di perguruan tinggi agama juga dikembangkan ilmu umum, semisal ilmu kedokteran, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, sains, dan lain-lain, lalu apa bedanya ilmu-ilmu umum tersebut dengan Ilmu yang sama yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Tegasnya, mereka ingin mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan apa bedanya, misalnya ilmu fisika, biologi, kimia, matematika di UIN dengan ilmu yang sama di universitas umum Pertanyaan itu mungkin terilhami oleh berkembangnya wacana islamisasi ilmu pengetahuan yang juga belum mendapatkan jawaban secara jelas, yakni apa yang dimaksud dengan islamisasi ilmu pengetahuan itu. Selain itu pertanyaan itu lahir dari fenomena adanya perguruan tinggi Islam, semisal universitas Muhammadiyah di beberapa kota, membuka fakultas umum tetapi belum berhasil mengintegraikan ilmu umum dengan ilmu agama. Semua universitas Islam yang ada selama ini masih memisahkan fakultas umum dari fakultas agama.
Hal itu menjadikan ilmu-ilmu umum di perguruan tinggi agama pun sama di tempat lain. Sehingga pertanyaan yang selalu muncul adalah, apakah perubahan STAIN atau IAIN menjadi UIN, akan sebatas seperti perguruan tinggi Islam yang ada selama ini, ataukah ada bentuk bangunan ilmu yang baru, yang berbeda dengan lainnya, terkait dengan perubahan itu Atas pertanyaan-pertanyaan itu saya selalu menjelaskan dengan mengajukan beberapa argumentasi, sehingga perubahan kelembagaan itu harus dilakukan. Pertama, selama ini banyak orang, tidak terkecuali para ulama’nya, menganggap bahwa Islam hanya sebatas agama sebagaimana agama-agama lainnya. Atas dasar pemahaman itu maka, Islam hanya dipahami dari aspek ritual dan spiritual. Maka yang muncul kemudian adalah ilmu-ilmu yang terkait dengan kegiatan spiritual itu, yakni ilmu tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf dan tarekh serta Bahasa Arab, yang lebih dikembangkan. Padahal sebagaimana dikemukakan oleh banyak ahli, tidak terkecuali ilmuwan barat, semisal Gibb yang terkenal itu, mengatakan bahwa Islam bukan saja agama, melainkan juga sebuah system peradaban. Demikkian pula, para ilmuwan Islam atau ulama’ berpandangan sama, yakni selalu mengatakan bahwa Islam itu luas, seluas wilayah kehidupan ini. Para ulama’ jika menggambarkan isi kitab suci Al Qur’an, sedemikian luas. Kitab suci al Qur’an mengenalkan tentang ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun di bumi.
Melalui al Qur’an pula, diperkenalkan tentang seluruh jagat raya dan seisinya, proses penciptaan manusia dan jagat raya, konsep tentang langit berlapis tujuh, perputaran antara matahari, bulan dan bumi, tumbuh-tumbuhan dan binatang, persoalan waktu, iklim, massa, hingga ke mana akhir dan menjadi apa kehidupan ini. Seluruh konsep-konsep dalam kehidupan ini, telah diungkap dalam kitab suci al Qur’an Akan tetapi dalam implementasi lebih lanjut tergambar bahwa pengetahuan yang bersumber dari al Qur’an itu hanyalah terbatas menyangkut agama. Mereka akan kembali membatasi pandangannya bahwa ilmu dalam Islam, hanya sebatas menyangkut aspek-aspek yang terkait dengan ritual dan spiritual. Anehnya, pandangan seperti itu sangat sulit berubah, hingga bagi kalangan ulama’ dan atau cendekiawannya sekalipun.
Fenomena seperti itu perlu dikaji secara mendalam, bagaimana sesungguhnya seseorang dalam membangun pemahaman dan juga makna-makna yang bersumber dari kitab suci itu. Adakah mekanisme dalam membentuk wawasan keagamaan seseorang yang hingga kini belum terdeteksi sehingga melahirkan fenomena seperti ituKedua, sebagai akibat dari cara pandang yang dijelaskan pada bagian pertama, maka umat Islam menjadi tertinggal dari umat lainnya. Sementara ini, masyarakat di manapun mengukur kemajuan suatu bangsa, tidak pernah memasukkan variable kharakter dan atau akhlak, melainkan hanya sebatas menggunakan tolok ukur yang bersifat material. Bangsa dikatakan maju, tidak pernah dilihat dari kedekatannya pada Tuhan-------dengan tolok ukur tertentu, melainkan diukur dari bagaimana bangsa itu berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya. Atas dasar itu maka ukuran-ukuran kesejahteraan hanya dikaitkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, angka kemungkinan hidup, income perkapita, indek kesehatan dan sejenisnya di seputar itu. Jika tolok ukur itu yang digunakan, maka umat Islam selalu tertinggal dari umat lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah cukup, mengukur kesejahteraan kehidupan manusia hanya mendasarkan variable-variabel yang bersifat materiatiltik, tanpa mengikutkan variable lainnya yang bersifat spiritual. Sebaliknya, pertanyaan yang sama perlu diajukan, apakah cukup jika hanya menggunakan variable spiritual. Bukankah sesungguhnya Islam adalah ajaran yang bersifat konprehensive dan bukan sebaliknya, bersifat parsial. Jika pandangan Islam sebagaimana dikemukakan itu yang ditangkap, -----universal atau menyeluruh, maka secara konseptual semestinya kajian Islam harus bersifat meliputi, menyeluruh dan lebih konphenesif pula. Kajian Islam bukan menempatkan diri, seolah-olah berada pada tempat lain, dari kajian ilmu-ilmu umum selama ini, melainkan justru bersifat meliputi.
Kajian Islam tidak seharusnya ditempatkan sejajar dengan ilmu lain, apalagi diposisikan sebagai hal yang berbeda, melainkan seharusnya diposisikan sebagai kajian yang memiliki wilayah menyeluruh dan sempurna. Berangkat dari penjelasan tersebut, kiranya kemudian dapat dipahami dengan mudah, dimana posisi ilmu-ilmu umum pada perguruan tinggi Islam, semisal UIN. Apa bedanya, ilmu-ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi yang dikembangkan oleh UIN dengan ilmu-ilmu tersebut yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum. Sehingga pertanyaan di muka bisa dijawab, bahwa perbedaan itu yang utama terletak pada motivasi dan sekaligus sumber pengetahuan itu sendiri. Ilmu-ilmu pengetahuan apapun yang dikembangkan oleh universitas Islam harus dipandang sebagai implementasi dari pesan-pesan Allah melalui al Qiur’an maupun hadits Nabi. Bekerja bagi umat Islam harus bermuatan spiritualitas. Tidak terkecuali dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di laboratorium atau pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan lainnya harus didasari oleh keyakinan yang kokoh (iman) , berorientasi pada keselamatan semesta (Islam) dan selalu memilih yang cara atau pendekatan terbaik (ikhsan) dilakukan sebagai ibadah pada Allah SWT. Perbedaan lainnya, bahwa jika di perguruan tinggi umum, mengembangkan ilmu pengetahuan bersumber pada hasil-hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis, maka pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi Islam, selain mendasarkan pada sumber-sumber tersebut, juga menjadikan al Qur’an dan hadits sebagai sumber ilmu. Kaum muslimin dalam mencari kebenaran tidak saja mendasarkan pada hasil-hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis semata. Kaum muslimin, dalam mencari kebenaran selalu mendasarkan pada pendekatan yang lebih komprehensif, yakni pendekatan bayani, burhani dan irfani.
Melalui pendekatan bayani, tatkala dalam mencari kebenaran, menempuh dengan cara mencari penjelasan itu dari ayat-ayat al Qur’an dan Hadits Nabi. Pendekatan Burhani, dilakukan dengan cara mencari penjelasan dari logika dan bukti-bukti empiric, sedangkan irfani dilakukan dengan pisau spiritual, atau mencarinya melalui suara batin. Jika demikian, maka ilmu-ilmu umum yang dikembangkan oleh perguruan tinggi Islam, tampak berbeda dengan jenis ilmu yang sama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi lainnya. Wallahu a’lam
- Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah. Apa yang Anda ketahui tentang konsep metode ilmiah? Bagaimana metode ilmiah tersebut terefleksi/tercermin dalam struktur penelitian?
Banyak orang mencoba untuk meletakkan komitmen pribadinya kepada Almasih dengan menyuarakan asumsi bahwa jika anda tidak dapat membuktikan sesuatu secara ilmiah, maka sesuatu itu tidak benar atau tidak dapat diterima. Sejak seseorang tidak dapat membuktikan secara ilmiah ketuhanan Almasih atau tentang kebangkitan-Nya, orang-orang pada abad kedua puluh lebih sekedar mengenal-Nya daripada menerima Almasih sebagai Juruselamat atau mempercayai kebangkitan.
Seringkali dalam sebuah kelas filsafat atau sejarah, saya diperhadapkan dengan tantangan "Dapatkah anda membuktikannya secara ilmiah?" Saya selalu berkata, "Tidak, saya bukanlah seorang ilmuwan." Lalu anda dapat mendengar kelas cekikikan dan selalu ada beberapa suara yang mengatakan, "Jangan berbicara tentang hal itu kepada saya," atau "Benar kan, anda harus mempercayai semua itu dengan iman" (maksudnya iman yang buta).
Baru-baru ini dalam penerbangan ke Boston saya berbicara dengan penumpang di sebelah saya tentang bagaimana saya secara pribadi mempercayai Kristus sebagaimana Dia telah mengatakannya. Sementara itu Pilot menyampaikan salam kepada semua penumpang di tengah-tengah pecakapan kami. "Anda mempunyai masalah," kata teman saya tadi. "Apakah itu?" tanya saya. "Anda tidak dapat membuktikan hal itu secara ilmiah," lanjutnya.
Mentalitas manusia modern telah menurun luar biasa. Bagaimanapun juga, pada abad kedua puluh ini kita dapat menjumpai banyak orang yang berpegang pada pendapat bahwa jika anda tidak dapat membuktikan ketuhanan Yesus dan kebangkitan-Nya secara ilmiah, hal itu tidak benar. Baiklah, itu tidak benar! Ada satu masalah dalam pembuktian tentang seseorang atau sebuah peristiwa dalam sejarah. Kita harus memahami perbedaan antara pembuktian ilmiah dan apa yang saya katakan pembuktian sejarah resmi. Akan saya jelaskan kedua hal ini.
Pembuktian ilmiah didasarkan pada keberhasilan memperlihatkan bahwa sesuatu adalah sebuah fakta, dengan mengulang peristiwa tersebut pada masa kini dihadapan orang yang bertanya tentang fakta tersebut. Pembuktian itu dikontrol oleh lingkungan yang memungkinkan pengamatan dapat dibuat, data dapat diperoleh, dan hipotesa secara empiris dapat dibuktikan.
"Metode ilmiah, sebagaimana hal itu didefinisikan, diperlukan untuk pengukuran fenomena dan percobaan atau pengulangan pengamatan." {1} Dr. James B.Conant, mantan Presiden Harvard, menulis: "ilmu pengetahuan adalah bagian-bagian yang tidak saling berhubungan dari konsep-konsep atau skema konseptual yang telah dibangun sebagai sebuah hasil dari percobaan dan pengamatan, dan hal itu kemudian membuahkan percobaan dan pengamatan selanjutnya."{2}Menguji kebenaran dari sebuah hipotesa dengan memanfaatkan kontrol percobaan adalah salah satu teknik kunci dari metode ilmiah modern. Sebagai contoh, seseorang berkata, "Sabun Ivory tidak mengapung." Maka saya meminta seseorang pergi ke dapur, mengambil dan menaruh air ke dalam panci setinggi delapan inci pada suhu 82.7°, dan memasukkan sabun tersebut ke dalamnya. Plung! Pengamatan dilakukan, data ditulis, dan hipotesa secara empiris dibuktikan: sabun Ivory mengapung. Jika metode ilmiah hanya satu-satunya cara pembuktian sesuatu, anda tidak dapat membuktikan bahwa anda telah mengikuti kelas jam pertama pada pagi ini atau bahwa anda telah makan siang hari ini. Tidak ada jalan bagi anda untuk mengulang peristiwa-peristiwa itu dalam situasi yang dikontrol Sekarang, berikut ini apa yang disebut pembuktian sejarah resmi, yang didasarkan pada pemaparan bahwa sesuatu adalah fakta yang pasti masuk akal. Dengan kata lain, sebuah keputusan ditetapkan berdasarkan bobot dari fakta-fakta. Berdasarkan hal itu lah tidak alasan yang layak untuk meragukan keputusan. Hal ini bergantung pada tiga jenis kesaksian: kesaksian lisan, kesaksian tertulis, dan barang bukti (seperti pistol, peluru, buku catatan, dll.). Dengan menggunakan metode resmi untuk mengungkap apa yang terjadi, anda dapat dengan baik membuktikan kepastian bahwa anda masuk kelas pagi tadi, dengan mengumpulkan fakta-fakta: teman-teman anda melihat anda, anda punya catatan kuliah, dan dosen mengingat anda. Metode ilmiah hanya dapat digunakan untuk membuktikan sesuatu yang dapat diulang. Metode ilmiah tidak memadai untuk membuktikan atau tidak membuktikan pertanyaan-pertanyaan tentang seseorang atau peristiwa dalam sejarah.
Metode ilmiah tidak cocok untuk menjawab pertanyaan seperti "Apakah Josh Washington pernah hidup?" "Apakah Martin Luther King adalah pemimpin hak asasi sipil?" "Siapakah Isa dari Nazareth?" "Apakah Robert Kennedy Jaksa Agung USA?" "Apakah Isa Almasih telah bangkit dari kematian?" Semua itu diluar bidang pembuktian secara ilmiah, dan kita perlu meletakkannya dalam bidang pembuktian sejarah-resmi. Dengan kata lain, metode ilmiah yang didasarkan pada pembuktian melalui pengamatan, pegumpulan data, pembuatan hipotesa, deduksi, dan percobaan hanya untuk mendapatkan dan menjelaskan keberaturan empiris dalam alam, tetapi tidak mempunyai jawaban akhir terhadap pertanyaan seperti "Dapatkan anda membuktikan kebangkitan Isa?" atau "Dapatkah anda membuktikan bahwa Isa adalah Anak Allah?" Ketika orang-orang menyandarkan diri pada metode sejarah-resmi, mereka perlu melihat kembali kesaksian yang dapat dipercayai.
Satu hal yang secara khusus mengangkat iman saya adalah bahwa iman Kristen bukanlah iman yang membabi buta, keparcayaan yang bodoh, tetapi lebih dari itu adalah sebuah iman yang masuk akal. Setiap kali di dalam Alkitab ketika seseorang dipanggil untuk menjalani ujian iman, ini adalah iman yang masuk akal. Isa berkata dalam Yohanes 8, "Kamu akan mengetahui kebenaran," jangan abaikan hal ini. Almasih pernah bertanya, "Apakah perintah terbesar dari semuanya?" Dia berkata, "Mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap akal budimu." Permasalahannya adalah sebagian besar orang hanya berhenti pada hati mereka. Fakta-fakta tetang Almasih tidak pernah ditaruh dalam pikiran mereka. Kita diberi sebuah pikiran yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus untuk mengenal Allah, sebaik hati yang mengasihi Dia, dan kemauan untuk memilih Dia. Kita perlu memfungsikan ketiga wilayah tersebut (hati, pikiran, dan kemauan) untuk membangun hubungan pribadi dengan Allah yang maksimal dan untuk memuliakan Dia. Saya tidak tahu dengan anda para pembaca, tetapi hati saya tidak dapat bersukacita dalam suatu hal yang tidak dapat diterima oleh pikiran saya. Hati dan pikiran saya diciptakan untuk bekerja besama-sama secara harmonis. Tidak pernah ada seseorang yang telah dipanggil untuk membunuh akal budi-nya dalam mempercayai Mesias sebagai Juruselamat dan Tuhan.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar